Pers di Indonesia
Berbicara perihal dunia
pers di Indonesia, tentunya tidak bisa dipisahkan dari hadirnya bangsa Barat di
tanah air kita. Memang tidak bisa dimungkiri, bahwa orang Eropa lah, khususnya
bangsa Belanda, yang telah “berjasa” memelopori hadirnya dunia pers serta
persuratkabaran di Indonesia.
Di masa pemerintahan
Jepang kehidupan pers lebih dipersempit, selain UU Belanda UU No 16 yang
pasal-pasalnya sangat menakutkan mengenai izin terbit, pembelengguan kebebasan
pers dengan memasukan tokoh-tokoh pergerakan kedalam penjara, dan membreidel
penerbitannya diberlakukan. Di setiap surat kabar ditempatkan Shidooin
(penasihat) yang tidak jarang menulis artikel dengan mencatat nama anggota
redaksi.
Perkembangan Pers
Nasional
1. Pers pada masa
Penjajahan Belanda dan Jepang
·
Zaman Belanda
Pada tahun 1828 di
Jakarta diterbitkan Javasche Courant yang isinya memuat berita- berita resmi
pemerintahan, berita lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa.
Sedangkan di Surabaya Soerabajash Advertentiebland terbit pada tahun 1835 yang
kemudian namanya diganti menjadi Soerabajash Niews en Advertentiebland. Di
semarang terbit Semarangsche Advertentiebland dan Semarangsche Courant. Di
Padang surat kabar yang terbit adalah Soematra courant, Padang Handeslsbland
dan Bentara Melajoe. Di Makassar (Ujung Pandang) terbit Celebe Courant dan
Makassaarch Handelsbland. Surat- surat kabar yang terbit pada masa ini tidak
mempunyai arti secara politis, karena lebih merupakan surat kabar periklanan.
Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar setiap kali terbit. Semua
penerbit terkena peraturan, setiap penerbitan tidak boleh diedarkan sebelum
diperiksa oleh penguasa setempat.
·
Zaman Jepang
Ketika Jepang datang ke
Indonesia, surat kabar-surat kabar yang ada di Indonesia diambil alih
pelan-pelan. Beberapa surat kabar disatukan dengan alasan menghemat alat- alat
tenaga. Tujuan sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang dapat memperketat
pengawasan terhadap isi surat kabar. Kantor berita Antara pun diambil alih dan
diteruskan oleh kantor berita Yashima dan selanjutnya berada dibawah pusat
pemberitaan Jepang, yakni Domei. Wartawan-wartawan Indonesia pada saat itu
hanya bekerja sebagai pegawai, sedangkan yang diberi pengaruh serta kedudukan
adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari Jepang. Pada masa itu surat kabar
hanya bersifat propaganda dan memuji-muji pemerintah dan tentara Jepang.
2. Pers pada masa
Revolusi
Pada masa ini, pers sering disebut sebagai pers
perjuangan. Pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan untuk kemerdekaan
bangsa Indonesia. Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno,
terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat,
termasukpers. Hal yang diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan.
Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers
RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koran Soeara Merdeka
(Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News
Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Saat itu pers terbagi menjadi dua golongan
yaitu:
a.
Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara Sekutu dan Belanda
yang dinamakan
Pers Nica (Belanda).
b.
Pers yang terbit dan diusahakan oleh orang Indonesia atau disebut Pers
Republik.
3. Pers pada masa
Demokrasi Liberal
Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer
atau masa demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan
partai politik dalam rangka memperkuat sistem pemerintah parlementer. Pers,
pada masa itu merupakan alat propaganda dari Par- Pol. Beberapa partai politik
memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers dikenal
sebagai pers partisipan.
4. Pers pada masa
Demokrasi Terpimpin
Pergolakan politik yang terus terjadi selama era
demokrasi liberal, menyebabkan Presiden Soekarno mengubah sistem politik yang
berlaku di Indonesia. Pada 28 Oktober 1956, Soekarno mengajukan untuk mengubah
demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin. Selanjutnya, pada Februari 1957,
Soekarno kembali mengemukakan konsep demokrasi Terpimpin yang diinginkannya.
Hampir berselang dengan terjadinya berbagai pemberontakan di banyak daerah di
Indonesia yang melihat sentralitas atas hanya daerah dan penduduk Jawa.
Munculnya berbagai pemberontakan di daerah dan
di pusat sendiri, membuat Soekarno mengeluarkan Undang-Undang Darurat Perang
pada 14 Maret 1957. Selama dua tahun Indonesia terkungkung dalam perseturuan
antara parlemen melawan rezim Soekarno yang berkolaborasi dengan militer.
Namun, tak berselang lama, Soekarno menerbitkan dekrit kembali ke Undang-Undang
Dasar 45, disusul dengan pelarangan Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi,
karena keterlibatan kedua partai tersebut dalam pemberontakan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958 di Sumatera.
Prinsip-prinsip demokrasi yang hendak ditegakkan oleh pemerintah, yaitu
sebagai berikut :
a.) Demokrasi terpimpin adalah
demokrasi atau kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
b.) Demokrasi terpimpin bukanlah
diktatur, tetapi demokrasi yang berbeda dengan demokrasi liberal.
c.) Demokrasi terpimpin adalah
demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan yang meliputi
bidang-bidang politik, ekonomi, dan sosial.
d.) Demokrasi terpimpin adalah alai,
bukan tujuan.
Demokrasi terpimpin mengenal juga kebebasan
berpikir dan berbicara, tetapi dalam batas-batas tertentu, yakni batas
keselamatan negara, kepribadian bangsa, kepentingan rakyat banyak, dan batas
pertanggungjawaban kepada Tuhan.
5 .Masa orde lama
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali
dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan
dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang
tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”.
Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan
terhadap pers.
Tahun
1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan
mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya
mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar
perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara
sepihak.
Tindakan
penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh penguasa Orde Lama bertambah dengan
meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan. Tindakan penekanan ini merosot
ketika ketegangan dalam pemerintahan menurun. Lebih-lebih setelah percetakan
diambil alih pemerintah dan wartawan wajib untuk berjanji mendukung politik
pemerintah, sehingga sangat sedikit pemerintah melakukan tindakan penekanan
kepada pers.
6. Masa orde baru
Setelah berakhirnya peristiwa G 30 S/PKI,
berakhir pula masa pemerintahan Orde Lama. Kemudian bangsa Indonesia memasuki
alam Orde Baru. Pada awal masa Orde Baru ini fungsi -dan sistem pers masih
belum berjalan dengan baik. Ketika itu surat kabar-surat kabar yang terbit
merupakan terompet masyarakat untuk menentang kebijaksanaan Orde Lama clan
menyokong aksi-aksi mahasiswa/pemuda sehingga surat kabar-surat kabar yang terbit
merupakan parlemen masyarakat.
Gejala-gejala pers liberal kembali melekat.
Apalagi ketika menjelang Pemilu 1971, sinisme dan kritik yang sifatnya tidak
membangun kembali memenuhi lembaran-lembaran surat kabar kita. Timbulnya
gejala-gejala yang tidak menguntungkan tersebut, antara lain disebabkan tidak
adanya pembinaan yang tegas, baik dari instansi-instansi resmi maupun
badan-badan atau organisasi-organisasi yang berkepentingan tentang adanya pers
nasional yang sehat, pers nasional yang dapat melaksanakan fungsi-fungsinya,
baik yang bersifat universal maupun sebagai alat perjuangan bangsa.
Namun, ketika alam Orde Baru ditandai dengan
kegiatan pembangunan di segala bidang, kehidupan pers kita pun mengalami
perubahan dengan sendirinya karena pers mencerminkan situasi dan kondisi dari
kehidupan masyarakat di mana pers itu bergerak. Oleh karenanya, pada masa ini
pers merupakan salah satu unsur penggerak pembangunan. Kita tentu menyadari
bahwa pembangunan pada hakikatnya merupakan suatu proses perubahan yang bertujuan
meningkatkan taraf hidup rakyat. Namun demikian, kita juga menyadari bahwa
perubahan sebagai akibat dari pembangunan tidak akan terjadi jika rakyat tidak
mengetahui dan dapat menerima motivasi, metode, dan hasil-hasil yang akan
dibawa oleh pembangunan itu. Untuk inilah diperlukan penerangan yang lugs
kepada rakyat tentang maksud Berta tujuan pembangunan. Pers sebagai sarana
penerangan/komunikasi merupakan salah satu alat yang vital dalam proses
pembangunan.
Seiring dengan laju pembangunan yang sangat
pesat pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers mengalami
kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Terjadinya
pembredelan pers pada masa-masa ini menjadi penghalang bagi rakyat untuk
menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara. Kondisi yang demikian dilatarbelakangi
adanya keinginan sekelompok elit yang ingin menguasai pemerintahan. Dengan
segala daya dan upaya, para elit berusaha membendung berbagai pemberitaan dan
informasi yang dianggap merugikan diri atau kroni-kroninya. Kehidupan
pemerintahan diliputi dengan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk praktik-praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang berarti telah mengkhianati amanat rakyat
sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
Seperti pada masa-masa sebelumnya, masa Orde
Baru pun akhirnya tumbang oleh kekuatan rakyat yang dimotori oleh para
mahasiswa. Salah satu tuntutan mahasiswa-rakyat Wall adanya kebebasan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan, yang
berarti adanya jaminan kebebasan pers.
7. Masa reformasi
Salah satu tonggak penting dalam perjalanan
sejarah bangsa Indonesia ialah terjadinya reformasi sejak 1998 dengan turunnya
Soeharto sebagai presiden RI. Runtuhnya Orde Baru membuka era demokrasi dan
kebebasan pers yang sebelumnya tidak pernah mampu dinikmati bangsa Indonesia.
Kemudian yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah reformasi, proses
demokratisasi, dan kebebasan pers An sudah berjalan dengan balk, khususnya
dalam membawa kemajuan rakyat banyak?
Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca
Orde Baru yang hares disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan Presiders
Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan pers, sekalipun
barangkah kebebasan pers ikut merugikan posisinya sebagai presiden.
Kebebasan di Indonesia dalam era reformasi
ditandai dengan lahirnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya UU
Pers tersebut, setiap orang boleh menerbitkan media massa tanpa harus meminta
ijin kepada pemerintah seperti sebelumnya. Pers dalam era reformasi tidak perlu
takut kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik pejabat, baik sipil maupun
militer. Dengan UU Pers diharapkan media massa di Indonesia dapat menjadi salah
satu di antara empat pilar demokrasi.
Pers Indonesia sekarang harus menggeser
paradigms lama dan harus menjadi lembaga independen, yang memihak pads
kebenaran. Pers Indonesia boleh jadi sekali waktu bekerja untuk menyukseskan
program pemerintah atau menyorot kebijakan pemerintah dengan kritis atau
sekadar mendampingi pemerintah. Akan tetapi, dalam posisi yang bermacam-macarn
itu is tetap menjadi lembaga yang menuntut perubahan demi kepentingan rakyat
banyak.
Ini berarti pers harus membantu proses
demokratisasi. Demokrasi merupakan sebuah sistem yang berusaha memenuhi
keinginan seluruh rakyat. Karena tidak ada satu pun yang dapat memenuhi
keinginan seluruh rakyat, maka paling tidak kits harus memperhatikan keinginan
rakyat yang terbanyak.
Dengan kebebasan pers yang hampir tanpa batas,
tetapi tidak diiringi profesionalitas yang tinggi di kalangan pekerja pers,
maka yang terjadi ialah penyalahgunaan kekuasaan kalangan pers dalam
menjalankan tugasnya. Opini yang berkembang adalah pers gosip, pornografi, clan
berita-berita yang tidak bertanggung jawab.
Karena itu, dalam pandangan sebagian anggota
DPR, ada wacana tentang perlunya merombak UU No. 40 tahun 1999 dengan perlunya
memasukkan kembali prinsip perijinan dan mekanisme pengawasan dalam penerbitan
pers. Dalam era reformasi ini, bukan pemerintah lagi yang berperan sebagai
regulator, tetapi lembaga yang dibentuk kalangan pers sendiri. Pers harus
bebas, tetapi kebebasannya harus bermanfaat untuk masyarakat. Wacana perlunya
regulator bagi penerbitan media massa mungkin bukan suatu solusi terbaik bagi
kalangan media di Indonesia. Namun demikian, jika ingin menyelamatkan demokrasi
dan reformasi, maka pers harus menata dirinya sendiri dan mengatur diri tanpa
adanya campur Langan (intervensi) dari penguasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar